Implementasi Perjanjian Perkawinan Sebelum, Saat Dan Sesudah Perkawinan
DOI:
https://doi.org/10.31599/jki.v21i1.310Abstrak
Marriage agreement is an agreement made by the parties before and during the marriage which includes everything that is not limited to property but can also include other things outside of property. Since the decision of the constitutional court number 69/PUU-XIII/2015 the meaning of the marriage agreement has been loosened so that the marriage agreement can not only be made before, when the marriage is carried out but can be made as long as it is in the marriage bond as long as it does not violate the applicable legal rules, religious rules and norms decency. In the marriage agreement, the two parties namely the husband and wife can declare their will and agree on assets and separate assets. In this study the authors used a normative legal approach, namely a study using a statutory approach and descriptive analytical research characteristics. It can be concluded, based on the decision of the constitutional court number 69/PUU-XIII/2015, a marriage agreement can not only be made before, when a marriage is held, but can be made after a marriage is carried out to protect the constitutional rights of citizens and human rights.
Keywords: Marriage, Marriage Agreement, Property
Abstrak
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebelum dan saat dilangsungkan perkawinan yang mencakup segala sesuatu yang tidak terbatas pada harta benda tetapi juga dapat mencakup hal lain di luar harta benda. Sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-XIII/2015 makna perjanjian perkawinan semakin dilonggarkan sehingga perjanjian perkawinan tidak hanya dapat dibuat sebelum, saat dilangsungkan perkawinan namun dapat dibuat sepanjang dalam ikatan perkawinan, asalkan tidak melanggar aturan hukum yang berlaku, aturan agama dan norma kesusilaan. Dalam perjanjian kawin, kedua pihak yakni suami istri dapat menyatakan kehendak dan bersepakat terhadap harta kekayaan untuk melakukan penyatuan harta, dan pemisahan harta. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan hukum normatif yaitu suatu penelitian dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan sifat penelitian deskriptif analitis. Dapat disimpulkan, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-XIII/2015, perjanjian perkawinan tidak hanya dapat dibuat sebelum, saat dilangsungkan perkawinan namun dapat dibuat setelah dilaksanakan suatu perkawinan untuk menjaga hak-hak konstitusional warga negara dan hak asasi manusia.
Kata kunci: Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Harta Benda
Unduhan
Referensi
Asman. (2020). Perkawinan dan Perjanjian Perkawinan Dalam Islam, Sebuah Kajian Fenomenologi. PT. Raja Grafindo Persada.
Asyhadie, H. Z. (2018). Hukum Keperdataan Dalam Perspektif Hukum Nasional KUHPerdata (BW) Hukum Islam dan Hukum Adat. PT. Raja Grafindo Persada.
Djaja, B. (2020). Perjanjian Kawin, Sebelum, Saat dan Sepanjang Perkawinan. PT. Raja Grafindo Persada.
Hadikusuma, H. (2007). Hukum Perkawinan Indonesia. Mandar Maju.
Istrianty, A., & Priambada, E. (2015). Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Berlangsung. Privat Law, III.
Ngadhimah, M., Noviana, L., & Rusdiana, I. (n.d.). Formulasi Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015.
Rofiq, A. (2006). Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada.
Satrio, J. (1993). Hukum Harta Perkawinan. Aditya Bakti.
Sembiring, R. (2016). Hukum Keluarga Harta-Harta Benda Dalam Perkawinan. PT. Raja Grafindo Persada.
Soekanto, S. (2006). Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia.
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2019). Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. PT. Raja Grafindo Persada.
Usman, R. (2006). Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Di Indonesia. Sinar Grafika.